Friday, January 29, 2010

Komplen atau Jangan?

Dua hari yang lalu adalah kali pertama lagi ku menjejakkan kaki di Blitz-MoI. Dari awal tahun hasrat menonton selalu disalurkan di 21 or xx1 sajah.  Soal harga, sebenernya ya kurleb samalah. Tapi tetap saja, nonton di Blitz kok terkesan lebih bergengsi? Entahlah dari mana kesan itu di dapat. Mungkinkah karena penonton yang ke sana 'lebih berkelas?' atau ... ?

Tapi dua hari yang lalu itu, aku kecewa sangad lho. Gimana engga?
Blitz selama ini kan terkesan mewah dan bersih. Dan dua hal ini yang bikin kelas Blitz seolah-olah setingkat di atas 21. Dan sejak hadirnya Blitz, baik yang di Seibu ataupun Pacipic Place juga MoI selalunya ku dapati dalam keadaan bersih dan menyenangkan. Kemarin kok beda yah?

Perbedaan itu baru terasa ketika film usai dan lampu menyala. Entah apa yang akan terjadi bila ku mengetahui 'kejorokan' itu dari awal. Beruntung aja, datangnya rada telat, dan kebiasaan menonton selalu duduk melipat kaki, yah ... gaya duduk seperti ini sebenarnya merupakan kiat mengusir dingin yang selalu menggigit. Begitulah, ketika film hampir usai, aku pun bersiap-siap. Kakiku mencari-cari keberadaan sang sendal dalam kegelapan. Ups....! Apa'an niy? Kok 'jemek-jemek' gituh? Perasaan jijik langsung mendera.

Jreeeng.... ! Studio sudah terang. Ku sapu pandangan ke bawah. Weksss..... :( Rupanya yang terasa 'jemek-jemek' tadi adalah SAOS. Iya sodara-sodara ... itu tadi SAOS bekas orang makan. Dari bungkusnya siy kayaknya makanan itu dipesan dari kafetaria-nya Blitz. Ga sampe semeter dari saos yang terinjak tadi, ku lihat lagi bungkusan yang sama dan bekas diinjak orang juga. Di ujung tempat duduk (baris C) bahkan ada botol mineral water. Sambil menggerutu beranjak keluar, dan ketika bertemu petugasnya di pintu keluar, terjadilah dialog ini.

"mbak, kok tumben siy Blitz jorok gitu?"

"iya mba, tadi ga sempat bersih-bersih soalnya." tanpa senyum lho itu nyautinya.

Jawaban yang tak ramah membuatku tak bersemangat meneruskan komplen. Selain sedang tidak mood untuk bikin 'ribut', ada juga perasaan takut sama swami yang emang biasanya engga seneng liat istrinya komplen sana sini. Benar saja. Begitu melewati pintu, swami langsung menegur.

"ngapain siy komplen-komplen?"

"tuh kan bener ... untung tadi engga diperpanjang sama teteh. Klo diperpanjang, bisa-bisa kita yang jadi tontonan karena kita pasti berantem klo aa marahin teteh di depan petugasnya tadi."

"Lagian kayak engga ada kerjaan aja komplen-komplen."

"Hlooo....???? Jadi kita terima aja klo pelayanan mereka seperti itu? Terus apa bedanya dong Blitz sama Misbar? Soal waktu yang tidak cukup menurut petugasnya, sangat tidak masuk di akal. Kenapa? Karena dari film yang satu ke film yang berikutnya, bukannya mereka sudah perhitungkan dengan cermat??? Dan sebetulnya klo kita menemui kondisi tempat menonton seperti tadi, sama saja Blitz tidak menghargai penontonnya. Kayaknya wajar deh klo komplennya yang seperti ini."

Akhirnya kami bergerak pulang dengan berdiam diri. Dalam hati aku masih menggerutu. Sebel sama Blitz, sebel juga kenapa aku bisa lupa ambil foto dari sampah2 itu. Pastinya itu bisa jadi bukti otentik toh? Tapi ya sudahlah, setiap orang memang tidak sama. Ada yang sanggup menerima hal-hal seperti ini, ada pula yang sebaliknya. Dan mungkin sudah saatnya aku belajar untuk lebih menahan diri, mau jorok kek ... mau dilayani dengan seenaknya kek ... terima sajalah, yang penting akur sama swami.

Masalahnya, bisa engga ya? Mau engga ya? Hehehe ... ga janji deeeeeeeeeehhhhh........... LOL LOL LOL

4 comments:

  1. saia juga komplen, kenapa saia tidak diajak nonton bioskop?

    ReplyDelete
  2. hehehehe...nti diajak ya om klo pas main ke Jkt :)

    ReplyDelete
  3. lho... ratu komplen kok binun...
    *kompor*

    ReplyDelete
  4. jiahhhh .... segitunya ..... sejak kapan gw dinobatkan jadi ratu komplen? hiks ...

    ReplyDelete